Kisah Nabi Ismail (1) Kelahiran dan Sunnah Berkurban
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ingin sekali memiliki keturunan yang saleh yang beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan membantu urusannya, istrinya yang bernama Sarah pun mengetahui apa yang diharapkan suaminya sedangkan dirinya mandul, maka Sarah memberikan budaknya yang bernama Hajar kepada Ibrahim agar suaminya memiliki anak darinya. Selanjutnya, Hajar pun hamil dan melahirkan Nabi Ismail yang akan menjadi seorang nabi.
Setelah beberapa waktu dari kelahiran Ismail, Allah Subhaanahu wa Ta’ala memerintahkan Ibrahim pergi membawa Hajar dan Ismail ke Mekah, maka Nabi Ibrahim memenuhi perintah itu dan ia pun pergi membawa keduanya ke Mekah di dekat tempat yang nantinya akan dibangunkan ka’bah.
Tidak lama setelah sampai di sana, Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail di tempat tersebut dan ingin kembali ke Syam. Ketika Hajar melihat Nabi Ibrahim pulang, maka Hajar segera mengejarnya dan memegang bajunya sambil berkata, “Wahai Ibrahim, kamu mau pergi kemana? Apakah kamu (tega) meninggalkan kami di lembah yang tidak ada seorang manusia dan tidak ada sesuatu apa pun ini?” Hajar terus saja mengulang-ulang pertanyaannya berkali-kali hingga akhirnya Ibrahim tidak menoleh lagi kepadanya.
Akhirnya Hajar bertanya, “Apakah Allah yang memerintahkan kamu atas semua ini?”
Ibrahim menjawab, “Ya.”
Hajar berkata, “Kalau begitu, Allah tidak akan menelantarkan kami.” Kemudian Hajar kembali dan Ibrahim melanjutkan perjalanannya hingga ketika sampai pada sebuah bukit dan mereka tidak melihatnya lagi, Ibrahim menghadap ke arah Ka’bah lalu berdoa untuk mereka dengan mengangkat kedua belah tangannya, dalam doanya ia berkata,
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka
bersyukur
” (QS. Ibrahim: 37) Kemudian Hajar mulai menyusui Ismail dan minum dari air persediaan. Hingga ketika air yang ada pada geriba habis, dia menjadi haus, begitu juga anaknya. Lalu dia memandang kepada Ismail sang bayi yang sedang meronta-ronta, kemudian Hajar pergi meninggalkan Ismail dan tidak kuat melihat keadaannya. Maka dia mendatangi bukit Shafa sebagai gunung yang paling dekat keberadaannya dengannya. Dia berdiri di sana lalu menghadap ke arah lembah dengan harapan dapat melihat orang di sana namun dia tidak melihat seorang pun.
Maka dia turun dari bukit Shafa dan ketika sampai di lembah, dia menyingsingkan ujung pakaiannya lalu berusaha keras layaknya seorang manusia yang berjuang keras, hingga ketika dia dapat melewati lembah dan sampai di bukit Marwah lalu berdiri di sana sambil melihat-lihat apakah ada orang di sana namun dia tidak melihat ada seorang pun. Dia melakukan hal itu sebanyak tujuh kali (antara bukit Shafa dan Marwah). Saat dia berada di puncak Marwah, dia mendengar ada suara, lalu dia berkata dalam hatinya “diamlah” yang Hajar maksud adalah dirinya sendiri.
Kemudian dia berusaha mendengarkannya maka dia dapat mendengar suara itu lagi, maka dia berkata, “Engkau telah memperdengarkan suaramu jika engkau bermaksud memberikan bantuan.” Ternyata suara itu adalah suara malaikat Jibril ‘alaihissalam yang berada di dekat zamzam, lantas Jibril mengais air dengan sayapnya hingga air keluar memancar.
Akhirnya Hajar dapat minum air dan menyusui anaknya kembali.
Kemudian malaikat Jibril berkata kepadanya, “Janganlah kamu takut ditelantarkan, karena di sini adalah rumah Allah, yang akan dibangun oleh anak ini dan ayahnya dan sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya.” Hajar terus melalui hidup seperti itu hingga kemudian lewat serombongan orang dari suku Jurhum atau keluarga Jurhum yang datang dari jalur bukit Kadaa’ lalu singgah di bagian bawah Mekah kemudian mereka melihat ada seekor burung sedang terbang berputar-putar. Mereka berkata,
“Burung ini pasti berputar karena mengelilingi air padahal kita mengetahui secara pasti bahwa di lembah ini tidak ada air.” Akhirnya mereka mengutus satu atau dua orang yang larinya cepat dan ternyata mereka menemukan ada air. Mereka kembali dan mengabarkan keberadaan air lalu mereka mendatangi air. Saat itu Hajar sedang berada di dekat air.
Maka mereka berkata kepada Hajar, “Apakah kamu mengizinkan kami untuk singgah bergabung denganmu di sini?” Ibu Ismail berkata, “Ya boleh, tapi kalian tidak berhak memiliki air.” Mereka berkata, “Baiklah.” Ibu Ismail menjadi senang atas peristiwa ini karena ada orang-orang yang tinggal bersamanya. Akhirnya mereka pun tinggal di sana dan mengirim utusan kepada keluarga mereka untuk mengajak mereka tinggal bersama-sama di sana.
Ketika itu, Nabi Ismail belajar bahasa Arab dari mereka (suku Jurhum), dan Hajar mendidik puteranya dengan pendidikan yang baik serta menanamkan akhlak mulia sampai Ismail agak dewasa dan sudah mampu berusaha bersama ayahnya; Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Selanjutnya, Nabi Ibrahim berkunjung menemui Hajar dan anaknya untuk menghilangkan rasa kangennya kepadanya. Maka pada suatu hari, saat Nabi Ibrahim telah bersama anaknya, ia (Ibrahim) bermimpi bahwa dirinya menyembelih puteranya, yaitu Ismail ‘alaihissalam.
Setelah ia bangun dari tidurnya, Ibrahim pun mengetahui bahwa mimpinya itu adalah perintah dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala karena mimpi para nabi adalah hak (benar), maka Nabi Ibrahim mendatangi anaknya dan berbicara berdua bersamanya. Ibrahim berkata,
“Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ismail menjawab, “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
(QS. Ash Shaaffaat: 102) Nabi Ibrahim membawa anaknya ke Mina, lalu ia taruh kain di atas muka anaknya agar ia (Ibrahim) tidak melihat muka anaknya yang dapat membuatnya terharu, sedangkan Nabi Ismail telah siap menerima keputusan Allah. Ketika Nabi Ibrahim telah membaringkan anaknya di atas pelipisnya dan keduanya telah menampakkan rasa pasrahnya kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, maka Ibrahim mendengar seruan Allah Subhaanahu wa Ta’ala,
“Wahai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.”
(QS. Ash Shaafffat: 104-106) Tidak lama setelah ada seruan itu, Nabi Ibrahim melihat malaikat Jibril dengan membawa kambing yang besar. Maka Nabi Ibrahim mengambilnya dan menyembelihnya sebagai ganti dari Ismail. Dari sinilah asal permulaan sunah berkurban yang dilakukan oleh umat Islam pada tiap hari raya Idul Adha di seluruh pelosok dunia.
Kisah Nabi Ismail (2) Palang Pintu
Kemudian Nabi Ismail semakin dewasa, ia pun menikah dengan seorang wanita yang tinggal di sekitar sumur Zamzam. Tidak lama kemudian ibu Ismail; Hajar meninggal dunia.
Di kemudian hari Ibrahim datang setelah Ismail menikah untuk mengetahui kabarnya, namun dia tidak menemukan Ismail. Ibrahim bertanya tentang Ismail kepada istri Ismail.
Istrinya menjawab, “Dia sedang pergi mencari nafkah untuk kami.”
Lalu Ibrahim bertanya tentang kehidupan dan keadaan mereka. Istri Ismail menjawab, “Kami mengalami banyak keburukan, hidup kami sempit dan penuh penderitaan yang berat.”
Istri Ismail mengadukan kehidupan yang dijalaninya bersama suaminya kepada Ibrahim. Ibrahim berkata, “Nanti apabila suami kamu datang sampaikan salam dariku dan katakan kepadanya agar mengubah palang pintu rumahnya.”
Ketika Ismail datang dia merasakan sesuatu lalu dia bertanya kepada istrinya; “Apakah ada orang yang datang kepadamu?”
Istrinya menjawab, “Ya. Tadi ada orang tua begini dan begitu keadaannya datang kepada kami dan dia menanyakan kamu lalu aku terangkan dan dia bertanya kepadaku tentang keadaan kehidupan kita maka aku terangkan bahwa aku hidup dalam kepayahan dan penderitaan.”
Ismail bertanya, “Apakah orang itu memberi pesan kepadamu tentang sesuatu?”
Istrinya menjawab, “Ya. Dia memerintahkan aku agar aku menyampaikan salam darinya kepadamu dan berpesan agar kamu mengubah palang pintu rumahmu.”
Ismail berkata, “Dialah ayahku dan sungguh dia telah memerintahkan aku untuk menceraikan kamu, maka kembalilah kamu kepada keluargamu.” Maka Ismail menceraikan istrinya.
Kemudian Ismail menikah lagi dengan seorang wanita lain dari kalangan penduduk yang tinggal di sekitar itu lalu Ibrahim pergi lagi meninggalkan mereka dalam kurun waktu yang dikehendaki Allah. Setelah itu, Ibrahim datang kembali untuk menemui mereka namun dia tidak mendapatkan Ismail hingga akhirnya dia mendatangi istri Ismail lalu bertanya kepadanya tentang Ismail.
Istrinya menjawab, “Dia sedang pergi mencari nafkah untuk kami.”
Lalu Ibrahim bertanya lagi, “Bagaimana keadaan kalian?” Dia bertanya kepada istrinya Ismail tentang kehidupan dan keadaan hidup mereka.
Istrinya menjawab, “Kami selalu dalam keadaan baik-baik saja dan cukup.” Istri Ismail juga memuji Allah.
Ibrahim bertanya, “Apa makanan kalian?”
Istri Ismail menjawab, “Daging.”
Ibrahim bertanya lagi, “Apa minuman kalian?
Istri Ismail menjawab, “Air.”
Maka Ibrahim berdoa, “Ya Allah, berkahilah mereka dalam daging dan air mereka.”
Ibrahim selanjutnya berkata, “Jika nanti suamimu datang, sampaikan salam dariku kepadanya dan perintahkanlah dia agar memperkokoh palang pintu rumahnya.”
Ketika Ismail datang, dia berkata, “Apakah ada orang yang datang kepadamu?”
Istrinya menjawab, “Ya. Tadi ada orang tua dengan penampilan sangat baik datang kepada kita dan istrinya memuji Ibrahim. Dia bertanya kepadaku tentang kamu, maka aku terangkan lalu dia bertanya kepadaku tentang keadaan hidup kita, maka aku jawab bahwa aku dalam keadaan baik.”
Ismail bertanya, “Apakah orang itu memberi pesan kepadamu tentang sesuatu?”
Istrinya menjawab, “Ya.” Dia memerintahkan aku agar aku menyampaikan salam darinya kepadamu dan berpesan agar kamu mempertahankan palang pintu rumahmu.”
Ismail berkata, “Dialah ayahku dan palang pintu yang dimaksud adalah kamu. Dia memerintahkanku untuk mempertahankan kamu.
Kisah Nabi Ismail (3) Membangun Kabah
Kemudian Ibrahim meninggalkan mereka lagi untuk waktu tertentu sebagaimana dikehendaki Allah, lalu Ibrahim datang kembali setelah itu saat Ismail meruncingkan anak panahnya di bawah kemah dekat zamzam. Ketika dia melihatnya, dia segera menghampirinya dan berbuat sebagaimana layaknya seorang ayah terhadap anaknya dan seorang anak terhadap ayahnya.
Kemudian dia berkata, “Wahai Ismail, Allah memerintahkanku dengan suatu perintah.”
Ismail berkata, “Lakukanlah apa yang diperintahkan Tuhanmu.”
Ibrahim berkata lagi, “Apakah kamu akan membantu aku?”
Ismail berkata, “Ya, aku akan membantumu.”
Ibrahim berkata, “Allah memerintahkan aku agar membangun rumah di tempat ini.”
Ibrahim menunjuk ke suatu tempat yang agak tinggi dibanding sekelilingnya.” Di dekat tempat itulah keduanya meninggikan pondasi Baitullah, Ismail bekerja mengangkut batu-batu sedangkan Ibrahim yang menyusunnya (membangunnya) hingga ketika bangunan sudah tinggi, Ismail datang membawa batu itu lalu meletakkannya untuk Ibrahim agar bisa naik di atasnya sementara Ismail memberikan batu-batu.
Keduanya bekerja sambil mengucapkan kalimat doa, “Wahai Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami sesunggunya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”
Keduanya terus saja membangun hingga mengelilingi Baitullah dan keduanya terus membaca doa,
“Wahai Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 127).
Setelah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail selesai membangun Ka’bah, maka keduanya berdoa,
“Ya Tuhan Kami terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui–Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji Kami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkau Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah: 127-128)
Allah Subhaanahu wa Ta’ala memuji Nabi-Nya Ismail ‘alaihissalam dan menyifatinya dengan sifat hilm (santun), sabar, menepati janji, menjaga shalat dan memerintahkan keluarganya menjaga shalat (QS. Maryam: 54-55).
Nabi Ismail menjadi rasul yang diutus kepada kabilah-kabilah yang tinggal di sekitar sumur Zamzam, kabilah Jurhum, ‘Amaliq, dan penduduk Yaman. Allah memberikan wahyu kepadanya.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Dawud.”(QS. An Nisaa’: 163)
Nabi Ismail adalah nenek moyang bangsa Arab dan ia adalah orang yang pertama memanah. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
“Panahlah wahai keturunan Ismail, karena nenek moyangmu adalah seorang pemanah.” (HR. Bukhari)
Selesai dengan pertolongan Allah dan taufiq-Nya, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam